BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut  takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.

Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien untuk memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri (Turner et al, 1996 dalam Eccleston, 2001). Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berasosiasi dengan kerusakan jaringan. Respon nyeri tiap orang berbeda-beda, tergantung nilai-nilai dalam diri orang tersebut. Oleh sebab itu dalam memberikan pengobatan/terapi dan hasil yang didapatkan juga akan berbeda-beda. Dalam masalah kesehatan, nyeri sering dialami klien terutama klien dalam bidang bedah. Skala nyeri yang dialami dari kategori ringan (masih bisa diatasi tanpa pengobatan) sampai kategori berat (klien tidak mampu lagi menahan/perlu diberikan pengobatan). Untuk mengatasi nyeri berat, analgetik narkotik merupakan alternatif yang efektif dalam penanganannya

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah definisi narkotika?

1.2.2 Apakah definisi analgetik narkotik?

1.2.3 Bagaimana penggolongan obat analgetik narkotik?

1.2.4 Apa saja reseptor-reseptor obat analgetik narkotik?

1.2.5 Bagaimana mekanisme kerja obat analgetik narkotik?

1.2.5 Bagaimana indikasi dan kontraindikasi obat analgetik narkotik?

1.2.6 Apa efek samping obat analgetik narkotik?

 

1.3  Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui pengertian narkotika.

1.3.2 Mengetahui pengertian analgetik narkotik.

1.3.3 Mengetahui penggolongan obat analgetik narkotik.

1.3.4 Mengetahui reseptor-reseptor obat analgetik narkotik.

1.3.5 Mengetahui mekanisme kerja obat analgetik narkotik terhadap sistem saraf pusat.

1.3.6 Mengetahui indikasi dan kontraindikasi obat analgetik narkotik.

1.3.7 Mengetahui efek samping analgesik narkotik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1  Definisi Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis. Zat tersebut menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiktif). (UU No. 22 Tahun 1997)

 

2.2 Definis Analgesik Narkotik

Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.

Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan (inflamasi). Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktifitas tubuh. Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen obat yang kita minum biasanya mengandung analgetik atau pereda nyeri.  Pada umumnya (sekitar 90%) analgetik mempunyai efek antipiretik.

Analgesik narkotik disebut juga agonis narkotik, diresepkan untuk mengatasi nyeri yang sedang sampai berat. Di Amerika serikat, Undang-Undang Narkotik Harrison tahun 1914, menyatakan bahwa semua bentuk opium harus dijual dengan resep dan tidak dapat lagi dibeli tanpa resep.

Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papever somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.

Semua anlagetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat tetapi potensi, onzzet, dan efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif maupun kuantitatif. Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan hipotensi serta depresi pernapasan.

Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak dipakai untuk nyeri hebat walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di indonesia tersedia dalam bentuk injeksi dan masih merupaan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgetik narkotik lainnya. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euforia dan gangguan mental.

Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.

Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.

Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.

 

 

2.3 Penggolongan Obat Analgetik Narkotik

Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :

1.      Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :

·         Alkaloida candu   : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.

·         Zat-zat sintesis     : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.

2.      Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin.

Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.

3.      Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.

 

2.4  Reseptor-Reseptor Analgetik Narkotik

Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor – reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu :

1.      Reseptor Mu

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimilasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi.

2.      Reseptor Kappa

Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anesthesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.

3.      Reseptor Sigma

Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil medriasis, dan stimulasi respirasi.

4.      Reseptor Delta

Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat reseptor Mu.

 

2.5 Mekanisme Kerja Analgetik Narkotik

Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.

Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin. Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

 

2.6 Indikasi dan Kontraindikasi Obat Analgetik Narkotik

a.       Morfin dan Alkaloid Opium

Ø  Indikasi

·         Meredakan atau  menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan dengan analgesic non-opioid. Lebih hebat nyerinya maka makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai Infark Miokard, Neoplasma, Kolik renal atau kolik empedu, Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

·         Mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.

·         Mengehentikan diare

 

 

Ø  Kontraindikasi

Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem, kifoskoliosis, korpulmonarale kronik dan obesitas yang ekstrim.

  

b.      Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain

Ø   Indikasi

·         Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, mepiridin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.

·         Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanestetik untuk men

Ø   Kontraindikasi

Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain penekanSSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.

 

2.7 Efek Samping Obat Analgesik Narkotik

·      Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat (kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.

·      Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.

·      Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.

·      Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu  (kolik batu empedu).

·      Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).

·      Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.

·      System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.

·      Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.

·      Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensia.

 

2.8 Contoh Analgetik Narkotik yang Sampai Sekarang Masih Digunakan Di

  Indonesia

1.      Morfin

·         Indikasi : analgetik selama dan setelah pembedahan

·         Kontraindikasi : depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut.

·         Dosis dan sediaan : Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan

·         Efek samping : mual, muntah, konstipasi, ketergantungan/ indiksi pada over dosis.

2.      Kodein fosfat

·         Indikasi : nyeri ringan sampai sedang

·         Kontraindikasi : depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut

·         Efek samping : mual, muntah, konstipasi, ketergantungan/ indiksi over dosis

3.      Fentanil

·         Indikasi : nyeri kronik yang sukar diatasi pada kanker

·         Kontraindikasi : depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut

·         Efek samping: mual, muntah, konstipasi, ketergantungan/indiksi over dosis

4.      Petidin HCl

·         Indikasi : nyeri sedang sampai berat, nyeri pasca bedah

·         Kontraindikasi: depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut

·         Dosis dan sediaan : Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.2

·         Efek samping : mual, muntah, konstipasi, ketergantungan/indiksi over dosis

5.      Tremadol HCl

·         Indikasi : nyeri sedang sampai berat

·         Kontra indikasi : depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut

·         Efek samping : mual, muntah, konstipasi, ketergantungan/indiksi over dosis

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar